Halo Sobat Dunia…
Mata Kuliah Pesrspektif Post Positivis Dalam Hubungan Internasional merupakan salah satu mata kuliah wajib yang diambil mahasiswa/i Hubungan Internasional Universitas Darussalam Gontor pada semster 3. Dalam mata kuliah ini para mahasiswa diajarkan mengenai klasifikasi teori hubungan internasional dalam perspektif post positivis dan berbagai konsep turunannya, sebagai dasar analisa fenomena hubungan internasional. Di akhir semester mata kuliah ini para mahasiwa/I menghadapi ujian tulis hal ini bertujuan guna menguji seberapa besar pemahaman yang telah dipahami oleh mahasiswi selama satu semester.
Positivisme dan Post Positivisme Secara Umum?
Positivisme pada dasarnya merupakan penyamarataan ilmu-ilmu manusia dengan ilmu-ilmu alam yang mendapat tantangan keras dari filsuf-filsuf yang datang sesudahnya. Sedangkan Post-Positivisme pemikiran yang menggugat asumsi dan kebenaran-kebenaran positivisme. Post Positivisme merupakan sikap yang mengkritik dan mengubah positivisme sedangkan Positivis menekankan kemandirian antara peneliti, orang, atau objek yang diteliti, positivis berpendapat bahwa teori, hipotesis, latar belakang pengetahuan, dan nilai-nilai peneliti dapat memengaruhi apa yang diamati. Post positivis mengejar objektivitas dengan mengenali kemungkinan efek bias. Sementara positivis menekankan metode kuantitatif, positivis menganggap metode kuantitatif dan kualitatif sebagai pendekatan yang valid.
Krititik Post Positivis Terhadap Positivis
Positivis merupakan Aliran ilmu pengetahuan yang menerapkan metode saintifik yang mengkombinasikan logika rasional dan empirisime. Tujuan dari ilmu sains adalah untuk memisahkan fakta dari nilai dan mencapai presisi yang matematis. Menurut Thomas S. Khun (1922-1996) dalam bukunya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution menjelaskan mengenai perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Menurutnya, ilmu pengetahuan memiliki kemungkinan untuk berubah dan berkembang, seiring dengan munculnya fakta-fakta baru, koreksi-koreksi, atau bahkan kritik terkait fenomena masa lalu (pengetahuan sebelumnya). Dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang baik, ada unsur paradigma. Paradigma, atau kerangka pemahaman, kerangka berpikir, atau sudut pandang, mempengaruhi cara kita dalam melakukan observasi dan memahami dunia sekitar kita. Thomas Kuhn tidak memungkiri empirisisme, namun jika pada suatu saat satu ilmu pengetahuan dengan paradigma tertentu dikritik secara empiris maupun teoritis, maka ilmuwan (si pemilik paradigma) harus melakukan serangkaian modifikasi untuk mengakomodir temuan atau wawasan baru, atau memberi jalan pada paradigma baru.
Menurut Karl Popper (1902-1994), ilmu pengetahuan dapat direduksi menjadi sistem atau metode yang formal dan logis hal tersebut sangat bertentangan dengan asumsi dari positivist. Karl Popper berasumsi bahwa untuk menjadi “saintifik”, sebuah klaim atau dalil harus dinyatakan dalam bentuk yang dapat dipalsukan atau memiliki unsur falsifiability. Falsifiability atau kepalsuan maksudnya adalah jika suatu proposisi (dalil) salah, maka harus dimungkinkan secara empiris untuk menunjukkan bahwa proposisi itu salah. Aspek “kepalsuan” atau falsifiability tersebut menurut Popper, adalah garis pembatas antara yang sains dan non sains. Jika satu teori tidak sesuai dengan suatu observasi empiris tertentu, maka ia saintifik. Sebaliknya, jika ia justru konsisten dengan segala bentuk observasi yang memungkinkan, maka ia tidak saintifik.
Dari Positivis menuju Post Positivis
Selain pembagian ( distinction ) yang muncul karena adanya perkembangan dari pengaruh “neo-neo debate” , dalam teori Internasional ada beberapa pembagian lain. Pembagian dan ranah teori yang semakin berkembang salah satunya disebabkan oleh perkembangan tatanan internasional yaitu globalisasi. Adapun distinction tersebut antara lain
a. Eksplanatori
Ragam teori yang bersifat eksplanatoris. Teori dianggap tidak terkait dengan apa yang ada dan terjadi didunia
b. Konstitutif
Ragam teori yang beranggapan bahwa teori selalu berkaitan dengan apa yang terjadi didunia. Teori membantu / mengkonstruksi hal yang terjadi didunia
c. Foundationalist
Segala hal yang ada didunia bisa dijustifikasi antara benar atau salah. Semua bisa diuji kebenarannya
d. Anti foundationalist
Klaim tentang kebenaran dapat dihakimi ( dijustifikasi ) dianggap tidak benar. Sebab, tidak pernah ada alasan yang betul-betul netral untuk melakukannya. Sebaliknya, masing-masing teori akan menentukan apa yang dianggap sebagai fakta dan sehingga tidak akan ada posisi netral yang tersedia untuk menentukan antara klaim – klaim yang ada.
Post Positivist merupakan istilah yang menggambarkan isu-isu dunia kontemporer, yang tidak mampu dideskripsikan atau dijelaskan dengan tradisi teoretis tradisional. Post Positivist hadir sebagai kritik terhadap tradisi keilmuan yang telah mapan, baik secara metodologis maupun isu-isu yang substansial. Mereka mengkritik positivis yang dianggap terlalu fokus berupaya untuk menjelaskan fenomena dunia dan hubungan internasional secara saintifik. Post Positivist menekankan bahwa teori Hubungan Internasional tidak terpisahkan dari dunia àteori dan apa yang ada didunia saling terintegrasi. Sehingga, teoritisi dalam HI bukanlah bagian yang terpisah dari teori yang ia buat. Post Positivist menyatakan kita perlu untuk senantiasa mengkritisi asumsi, anggapan, teori yang ada. Sebab, tidak ada yang disebut dengan kebenaran absolut dalam ilmu pengetahuan. Post Positivisme bergantung pada metode saintifik dalam pengembangan teori. Sebab, metode saintifik dianggap dapat memaksimalkan objektifitas dan memisahkan antara ilmuwan dan yang ditelaah. Selain itu, metode saintifik juga mampu menjelaskan sebab akibat .
Post-positivisme merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki kelemahan-kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme. Satu sisi Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain Postpositivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, data, dan lain-lain. Post Positivisme bergantung pada metode saintifik dalam pengembangan teori. Sebab, metode saintifik dianggap dapat memaksimalkan objektifitas dan memisahkan antara ilmuwan dan yang ditelaah. Selain itu, metode saintifik juga mampu menjelaskan sebab akibat.
Adapun berbagai pendekatannya yaitu
a. Post–Strukturali
Poststrukturalisme berbeda dengan pendekatan politik internasional yang lain karena pascastrukturalisme tidak menganggap dirinya sebagai sebuah teori, mazhab, atau paradigma yang menghasilkan satu pendapat tunggal mengenai suatu subjek. Poststrukturalisme adalah pendekatan, sikap, atau etos yang mengkritik dengan cara tertentu. Poststrukturalisme menganggap kritik itu kegiatan positif yang membuka kemungkinan alternatif lain. Post-strukturalis pada awalnya lahir sebagai hasil dari perdebatan panjang mengenai kritik kaum realis dan neorealis tentang bagaimana teori tradisional membentuk dan menyusun keadaan politik internasional sejauh ini. Post-Strukturalisme merupakan perspektif alternatif yang lahir sebagai kritik atas perspektif tradisional terutama Realis. Sesuai namanya, Post-Strukturalisme merupakan bentuk dekonstruksi dari pandangan Strukturalisme dengan menyajikan teori-teori baru, menganalisa bagaimana struktur memproduksi arti secara konsisten. Mereka para scholar perspektif ini beranggapan jika aktorlah yang menentukan struktur sehingga aktor mampu mendapatkan identitas dalam kehidupan politik.
b. Post Kolonialisme
Postkolonialisme memberi pendekatan teori kritis terhadap HI dan tergolong aliran HI yang berlawanan arus (non-mainstream). Postkolonialisme berfokus pada bentuk-bentuk kekuasaan kolonial dan eksistensi rasisme dalam politik dunia, dan Feminisme. Post-kolonialisme lalu muncul pada 1960an dengan menyajikan perspektif baru, yaitu dari negara-negara yang termarginalkan akibat efek dari kolonialisasi yang pernah terjadi di dunia ini. Menurut kaum post-kolonialis, teori-teori yang sudah ada dalam studi Hubungan Internasional terlalu western-centric. Poskolonialisme meyakini bahwa kolonialisme memunculkan pandangan bahwa negara-negara Dunia Ketiga tidak akan bisa maju dan hanya negara-negara Dunia. Melalui pendektannya, post-kolonialisme juga menolak modernitas yang lahir setelah masa Renaissance. Asumsi dari post-kolonialisme adalah adanya identitiy, power, dan struggle. Pos-kolonialisme melihat bahwa power cenderung dimiliki oleh negara dunia pertama atau disebut juga dengan negara maju, dengan penggunaan teknologinya untuk menginvansi negara dunia ketiga. Sementara, identity menurut post-kolonialisme sendiri berfokus pada adanya kelas-kelas negara di dunia, antara penjajah dan negara terjajah, yang kemudian menghasilkan negara dunia pertama, kedua, maupun ketiga. Selain itu, struggle merupakan usaha yang disuarakan penstudi post-kolonialisme dengan berfokus pada self-determination dan dekolonisasi guna meruntuhkan penjajahan atau kolonialisme yang dengan demikian post-kolonialisme bersifat emansipatoris.
c. Feminisme
feminisme lebih menitikberatkan pada relasi sosial, terutama relasi gender daripada anarki. Secara history feminism merupakan kajian tentang feminism yang muncul pertama kali dalam bentuk social movement pada tahun 1960-1970an. Social movement disini berarti upaya untuk mencari pengetahuan yang didedikasikan untuk mencapai kesetaraan dalam ekonomi, politik, dan social. Adapun yang disebut dengan gender yang merupakan konstruksi social dan merukapakan istilah yang digunakan untuk membedakan kegiatan-kegiatan social berdasarkan masculinity dan feminity. Mengacu pada konstruksi sosial asimetris dari maskulinitas dan feminitas sebagai lawan dari perbedaan pria-wanita yang seolah-olah biologis. Adapun Pendekatan Feminisme: Feminisme Radikal, Feminisme Liberal, Feminisme Sosial atau Marxis, Feminisme Konstruktivis, Feminisme Pasca-modern, Feminisme Pascakolonial.
Adapun pandangan filsafat mengenai Postpositivis dan Positivis:
a. Epistemologi
Secara epistomologis bersifat Modified dualist/objectivist, hubungan peneliti dengan realitas yang diteliti tidak bisa dipisahkan tapi harus interaktif dengan subjektivitas seminimal mungkin. Para postpositivis percaya bahwa pengetahuan manusia tidak didasarkan pada penilaian apriori dari individu yang objektif, tetapi lebih pada dugaan manusia. Namun, postpositivisme bukanlah bentuk relativisme , dan umumnya mempertahankan gagasan tentang kebenaran obyektif .
b. Ontologi
Secara ontologis aliran post-positivisme bersifat critical realism dan menganggap bahwa realitas memang ada dan sesuai dengan kenyataan dan hukum alam tapi mustahil realitas tersebut dapat dilihat secara benar oleh peneliti. Postpositivist juga percaya bahwa kenyataan itu ada, tetapi tidak seperti positivis, mereka percaya kenyataan hanya dapat diketahui secara tidak sempurna dan secara probabilistik. Postpositivist juga mengambil dari konstruksionisme sosial dalam membentuk pemahaman dan definisi mereka tentang realitas.
c. Aksiologi
Positivis percaya bahwa penelitian bebas nilai atau netral nilai, postpositivis mengambil posisi bahwa bias tidak diinginkan tetapi tidak dapat dihindari, dan oleh karena itu penyidik harus bekerja untuk mendeteksi dan mencoba untuk memperbaikinya. Postpositivist bekerja untuk memahami bagaimana nilai dan keyakinan dapat mempengaruhi penelitian mereka, termasuk melalui pilihan ukuran, populasi, pertanyaan, dan definisi, serta melalui interpretasi dan analisis pekerjaan mereka.
Adapun tokoh-tokoh yang mengkritik Post Positivis antara lain:
1. Karl R. Popper
2. Thomas Kuhn
3. Richard Ashley
4. John G. Ruggie
Asumsi dasar Post-Positivisme:
1. Fakta tidak bebas melainkan bermuatan teori.
2. Falibilitas teori. Tidak satu teori pun yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empiris. Bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali
3. Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai
4. Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan persoalan dan senantiasa berubah
Ada 3 bentuk ontologi post-positivisme:
a. Realisme
Kaum realis meyakini bahwa realitas yang diamati adalah realitas sebenarnya, yang mutlak benar.
b. Nominalisme
Kaum nominalis mengajukan gagasan bahwa keberadaan fenomena sosial hanya terwujud dalam batas nama dan label yang subjek berikan pada realitas tersebut
c. Konstruksionisme sosial
Kaum konstruksionis menekankan bahwa realitas itu dianggap ada atau tidak bergantung pada pengaruh makna sosial yang dimiliki subjek, makna sosial ini dibentuk melalui interaksi historis yang dialami subjek. Kaum post-positivis meyakini bahwa proses konstruksi sosial terjadi dalam berbagai cara dan terpola secara relatif pada kerja penelitian Serta banyak kalangan post-positivis meyakini bahwa konstruksi sosial tersebut dapat ditemukan secara objektif pada para pelaku dunia sosial.
Daftar Pustaka
Alexander, JC. 1995. Teori Sosial Fin De Siecle: Relativisme, Reduksionisme dan Masalah Alasan. London: Verso.
Phillips, DC & Nicholas C. Burbules. 2000. Postpositivisme dan Penelitian Pendidikan. Lanham & Boulder: Rowman & Littlefield Publishers.
Zammito, John H. 2004. A Nice Derangement of Epistemes. Post-positivisme dalam studi Sains dari Quine ke Latour. Chicago & London: Pers Universitas Chicago.
Popper, Karl. 1963. Dugaan dan Sanggahan: Pertumbuhan Pengetahuan Ilmiah. London: Routledge.
Moore, R. 2009. Menuju Sosiologi Kebenaran. London: Continuum.