Pemikiran Politik Islam, Dinamika dan Perkembangannya

Pemikiran Politik Islam merupakan aspek penting dalam perkembangan peradaban Islam. Selama ini pemikiran politik islam banyak dikenal dengan Fiqh As-siyasah. Namun, pemikiran politik islam sebenarnya tidak bisa disempitkan sebagai Fiqh As-siyasah saja. Pemikiran politik islam memiliki aspek selain hukum yang mana merupakan bagian yang cukup penting bagi pondasinya. Beberapa aspek penting tersebut antara lain:

  1. Aspek Kalam
  2. Aspek Fiqih
  3. Aspek Tasawuf

Yang menjadi akar perpecahan pemikiran politik dalam islam adalah peristiwa pemilihan terhadap siapa yang berhak menggantikan posisi Rasulullah Saw sebagai pemimpin umat islam. Golongan syiah memiliki pendapat bahwa yang berhak untuk menjadi khalifah pada saat itu adalah Ali Bin Abi Thalib. Dari persitiwa tersebut maka lahirlah tiga fraksi besar di kalangan ummat islam yaitu Syi’ah, Sunni dan Khawarij.

Dalam Syi’ah, format kekuasaan disebut dengan Imamah. Alam Imamah bertumpu pada Al-walayah (kedekatan batin kepada Allah) dan Al-I’sham (terbebas dari perbuatan maksiyat). Dalam konsep berfikir Syi’ah, kedua kriteria tersebut hanya terdapat pada keturunan Rasulullah atau Ahl Al-bayt.

Sistem politik dalam Syi’ah cenderung bersifat teokratis atau terintegrasi dengan agama. Di sisi lain, dalam Sistem Politik Sunni terdapat tradisi bai’at dan syuro sehingga dapat dismpulkan bahwa corak yang ada dalam sistem politik Sunni lebih bersifat demokratis.

Namun, golongan Khawarij hadir untuk menentang kedua corak yang dimiliki baik oleh Syi’ah maupun Sunni. Dengan kata lain, corak Khawarij seperti ini banyak terdapat pada kelompok ekstrimis yang disebut oleh Prof. Din Syamsuddin sebagai Neo-khawarij.

Dalam sejarahnya, pemikiran politik islam cenderung mengalami perubahan dan pengulangan. Setidaknya terdapat empat era yang mana dianggap mempetakan pemikiran politik islam. Era tersebut antara lain:

  1. Era Klasik
  2. Era Pertengahan
  3. Era Modern
  4. Era Kontemporer

Namun dari sekian era yang telah disebutkan di atas dapat diringkas menjadi dua era yakni era pra-modern dan era modern. Corak yang terdapat dalam era pra-modern adalah pemikiran politik pada saat itu lebih cenderung membangun tendensi-tendensi. Tendensi-tendensi tersebut antar lain:

  • Tendensi Yuridistik Formalistik

Banyak membahas sistem politik, format pemerintahan, dan syarat pemilihan. Karena dalam hal ini banyak membahas aspek hukum maka lahirlah Fiqh As-siyasah.

  • Tendensi Administratif Birokratik

Pemikiran mengenai ketatanegaraan. Ilmuwan yang terkenal dalam hal ini adalah Al-mawardi dengan bukunya Qowaninul Wuzara’ yang  banyak berisi gagasan dan ide-ide mengenai urusan administratif atau ketatanegaraan.

  • Tendensi Filosofis

Pada era pra-modern terdapat banyak pemikiran yang berbentuk filsafat atau bersifat filosofis mengenai perpolitikan. Salah satu ilmuwan islam yang terkenal dalam hal ini adalah Al-farabi. Al-farabi memakai istilah madinah untuk menyebut negara karena merujuk kepada kota Yastrib yang mana diubah namanya menjadi Al-madinah pasca peristiwa hijrah Rasulullah.

  • Tendensi Moral

Tokoh yang terkenal dalam hal tendensi moral pada pemikiran politik pada era pra-modern adalah Imam Al-ghazali. Hal ini didasari pada karya yang pernah beliau tulis yang berjudul An-nasihah Al-mulk. Buku tersebut banyak memuat berbagai nasihat yang ditujukan kepada seorang pemimpin atau penguasa.

Terdapat perbedaan mencolok mengenai pemikiran Islam pra-modern dengan pemikiran modern. Pemikiran politik Islam pada masa sebelumnya hanya merupakan upaya untuk mencari tendensi atau keterganungan-ketergantungan.

Namun, pemikiran Islam modern sudah berubah menjadi paradigma yang mana memengaruhi pergerakan-pergerakan politik negara-negara mayoritas muslim.

Paradigma dalam Pemikiran Politik Islam

Paradigma merupakan bagaimana cara seseorang untuk melihat sehingga memengaruhi cara berfikir, memilih sikap, dan bertindak tanduk. Pada masa modern ini, kemajuan yang ada dalam perkembangan pemikiran politik islam ialah munculnya Islam sebagai paradigma dalam kegiatan politik. Dalam hal ini, terdapat dua golongan besar dalam paradigma yang terdapat dalam islam yaitu paradigma. Tradisionalisme dan paradigma modernisme.

1. Paradigma Tradisionalisme

Sesuai dengan namanya, paradigma ini sangat konservatif dalam memandang perkembangan peradaban yang terjadi di era modern. Cara pandang tradisionalisme cenderung bersifat rejeksionis terhadap segala idea tau sistem yang ditulis oleh para pemikir barat. Pada masa kolonialisme, pemikiran barat memang banyak disebarkan melalui kolonialisasi dan menyebar ke banyak negara-negara koloni Eropa.

Hal ini kemudian banyak memengaruhi pendirian negara baru yang merupakan bekas jajahan negara-negara Eropa baik pasca Perang Dunia I maupun pasca Perang Dunia II. Negara-negara baru saat itu banyak mengadopsi sistem politik dan administrasi tata negara yang ada di Barat. Contoh yang dapat dilihat secara jelas adalah hampir semua negara bekas koloni Inggris menganut sistem demokrasi parlementer ala inggris pasca perolehan kemerdekaannya.

Para golongan tradisionalis dalam Islam kemudian hadir untuk menolak sistem-sistem maupun ide-ide tersebut. Mereka kemudian banyak melakukan kritik terhadap sistem demokrasi yangmereka sebut sebagai produk peradaban Barat yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam Islam. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya gerakan-gerakan subversif yang menentang adanya demorasi dan mendukung pendirian apa yang mereka sebut sebagai khilafah islamiyah

2. Paradigma Modernis

Paradigma modernisme sangat bersifat berbeda dengan apa yang telah banyak diterangkan sebelumnya yaitu paradigma tradisionalisme. JIka paradigma tradisionalisme lebih memilih sikap untuk menolak ide-ide politik barat, paradigma modernisme memilih hal sebaliknya. Paradigma modernisme lebih bersifat adaptif terhadap sistem yang digagas oleh pemikiran politik barat. Paradigma ini menganggap bahwa tidak semua sistem yang diperkenalkan oleh bangsa barat pada masa kolonialisme merupakan hal yang bertentangan dengan Islam. Mereka juga menganggap bahwa apa yang telah diperlihatkan oleh Rasulullah Saw selama masa kenabian dan kepemimpinannya banyak bersifat demokratis.

Oleh karena itu, para pemikir Islam modern banyak melakukan Islamisasi atau internalisasi nilai-nilai Islam kedalam sistem tata negara. Setidaknya terdapat empat pilar yang menjadi landasan paradigma modernisme antara lain sebagai berikut:

  1. Al-Adalah
  2. Al-Musawah
  3. As-Syuro
  4. Al-Qonun

Adapun tokoh dari paradima modern dalam Islam antara lain Muhamad Abduh dan Rashid Ridha. Muhammad Ridha berpendapat bahwa “Islam tidak mengatur format tertetu dalam kegiatan bernegara. Umat Islam diberi kebebasan dalam menentukan bentuk negara sesuai dengan apa yang telah mereka sepakati bersama”. 

Dengan kata lain, corak yang digambarkan oleh paradigma modern lebih mengarah kepada sistem demokratis. Hal ini ditunjukan dengan adanya As-Syuro atau pembentukan dewan sebagai salah satu pilar paradigma modern yang mana  As-Syuro merupakan representasi rakyat sipil  dalam ruang lingkup pemerintahan. Oleh karena itu, paradigma inilah yang kemudian sangat mendekati kepada corak pemikiran politik Islam Sunni. Karena seperti yang sudah banyak beliau jelaskan dalam kuliah tamu sebelumnya, pemikiran politik Islam Sunni lebih bersifat demokratis berbeda dengan corak lainnya seperti Syi’ah dan Khawarij yang mengedepankan supremasi pemimpin dan berusaha untuk meniadakan partisipasi golongan lain. 

Relevansi Pemikiran Politik Islam Terhadap Studi Hubungan Internasional

Para ulama’ dalam Islam telah banyak menuangkan idenya mengenai pemikiran politik. Kemudian pemikiran-pemikiran Islam tersebut memengaruhi pendirian negara baru semenjak berakhirnya era kolonialisme bangsa-bangsa Eropa pasca Perang Dunia I dan II. Hal ini juga dapat dilihat dari pendirian negara Indonesia setelah proklamasi kemerdekaannya pada tahun 1945.Pemikiran politik Islam juga memberi pengaruh kepada negara-negara lain yang mayoritas penduduknya merupakan penganut agama Islam. 

Negara-negara tersebut tentu saja tidak mampu berdiri sendiri. Negara-negara Islam tersbut di era modern banyak melakukan kerjasama dalam rangka mencapai kepentingan bersama. Hal inilah yang kemudian memprakarsai berdirinya OIC (Organization of Islamic Coorporation).

OIC merupakan Organisasi Internasional yang terdiri dari negara-negara mayoritas penduduk Muslim. Kesamaan nilai-nilai agam yang dianut menyebabkan proses dilomasi antar negara Islam menjadi lebih mudah. Organisasi tersebut banyak membahas mengenai isu-isu yang menjadi problem umat Islam saat ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published.