Mengenal Peran UNESCO Dalam Mengatasi Buta Aksara

UNESCO

The United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) atau dalam Bahasa Indonesia Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah sebuah organisasi yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN).

Organisasi ini bertujuan dalam mendukung perdamaian dan keamanan dengan mempromosikan kerja sama antar negara melalui pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya dalam rangka meningkatkan rasa saling menghormati yang berlandaskan kepada keadilan, peraturan hukum, HAM, dan kebebasan hakiki (Artikel 1 Konstitusi UNESCO).

Organisasi yang bermarkas di Paris, Perancis ini memiliki lebih dari 50 kantor cabang di seluruh dunia. UNESCO memiliki sejumlah tanggung jawab yang dilaksanakan melaui melalui kerja sama internasional pada program pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya.

Resmi berdiri pada 16 November 1945, UNESCO setidaknya mempunyai 5 tema besar yang mencakup pendidikan, ilmu alam, ilmu sosial, dan manusia, budaya, serta komunikasi, dan informasi. Program yang didasari salah satu dari tema-tema besar tersebut adalah program baca-tulis atau literasi, guna menghilangkan buta aksara yang merupakan masalah yang sering terjadi hampir di seluruh negara di dunia.

Upaya Menghidupkan Literasi di Dunia

UNESCO mulai berjuang memberantas buta aksara sejak 1946 hinga hari ini. Merujuk pada laman resminya, literasi diyakini mempunya “efek ganda” yang dapat memberdayakan manusia, agar dapat ikut berpartisipasi penuh dalam masyarakat dan berkontribusi dalam mata pencaharian.

Lebih jauh lagi, literasi ikut ambil andil dalam memberantas kemiskinan dan memperluas kesempatan hidup. Hal itu dapat terlihat dari peningkatan kegiatan jual beli dan meningkatnya kualitas kesehatan gizi bagi anak dan keluarga.

Sejalan dengan modernisasi zaman dan meningkatnya digitalisasi, UNESCO tidak terpaku dengan cara-cara konvensional dalam mendidik umat manusia yang belum sempat merasakan manfaat literasi. Namun, pendidikan literasi terus dikembangkan memanfaatkan fasilitas dan teknologi yang turut berkembang.

Literasi untuk masa depan generasi muda

Menurut laman resmi UNESCO sebanyak 773 juta pemuda dan orang dewasa masih belum mampu membaca dan menulis. Sementara 250 anak-anak belum menguasai kemampuan dasar tulis menulis. Saat ini, sejumlah negara di dunia masih memiliki angka melek huruf yang rendah, terutama di Afrika dan Timur Tengah yang dilanda konflik. Sekitar 30 persen orang dewasa dan 20 persen orang berusia 25-34 masih mengalami buta aksara.

Pendidikan Literasi di Indonesia

Dalam satu dekade terakhir ini, jumlah penduduk Indonesia berusia di atas 10 tahun yang tidak memiliki kemampuan membaca, menulis, berhitung (buta aksara) cenderung menurun. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki angka buta aksara sebesar 6,44 persen pada tahun 2011. Angka tersebut terus menurun pada 2015 hingga 4,27 persen. Walaupun setahun setelahnya naik menjadi 4,62 persen, namun kembali jatuh pada tahun 2020 ke angka 3,62 persen.

Pemerintah Indonesia melalui Kemendikbud setidaknya mempunyai empat langkah dalam menanggualangi angka buta aksara di Indonesia. Hal pertama yang menjadi langkah utamanya adalah adanya ikhtiar dalam mengurangi angka buta aksara di Indonesia hingga kurang dari 1 persen. Kemudian anak-anak dan remaja akan menjadi prioritas Kemendikbud dalam merealisasikan agenda ini, yang menitikberatkan pada penguasaan kompetensi dan penguatan karakter.

Selanjutnya, masyarakat akan menjadi target pendidikan literasi setelah anak-anak dan remaja telah menunjukkan kemajuan dalam prosesnya. Langkah terakhir yang diambil adalah kolaborasi satuan pendidikan dengan berbagai pihak seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga perguruan tinggi.

Salah satu kegiatan pendidikan literasi di Probolinggo

Di Hari Literasi Internasional ini mari kita berharap agar setiap insan mampu merasakan nikmat dan manfaat literasi. Sebagai mahasiswa Hubungan Internasional sudah sewajarnya memikirkan dan mengedepankan hak-hak masyarakat Indonesia khusunya dan internasional secara umum. Apalagi kemampuan baca-tulis merupakan bagian dari hak mengembangkan diri, salah satu dari hak-hak dasar manusia yang tercantum pada Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Leave a Reply

Your email address will not be published.