Pemikiran Politik Islam merupakan aspek penting dalam perkembangan peradaban Islam. Selama ini pemikiran politik islam banyak dikenal dengan Fiqh As-siyasah. Namun, pemikiran politik islam sebenarnya tidak bisa disempitkan sebagai Fiqh As-siyasah saja. Pemikiran politik islam memiliki aspek selain hukum yang mana merupakan bagian yang cukup penting bagi pondasinya. Beberapa aspek penting tersebut antara lain:
- Kalam
- Fiqih
- Tasawuf
Yang menjadi akar perpecahan pemikiran politik dalam islam adalah peristiwa pemilihan terhadap siapa yang berhak menggantikan posisi Rasulullah SAW sebagai pemimpin ummat islam pasca beliau wafat. Golongan syiah memiliki pendapat bahwa yang berhak untuk menjadi khalifah pada saat itu adalah Ali Bin Abi Thalib.
Dari persitiwa tersebut maka lahirlah tiga fraksi besar di kalangan ummat islam yaitu Syi’ah, Sunni dan Khawarij. Dalam Syi’ah, format kekuasaan disebut dengan Imamah. Alam Imamah bertumpu pada Al-walayah (kedekatan batin kepada Allah) dan Al-I’sham (terbebas dari perbuatan maksiyat).
Dalam konsep berfikir Syi’ah, kedua kriteria tersebut hanya terdapat pada keturunan Rasulullah atau Ahl Al-bayt. Sistem politik dalam Syi’ah cenderung bersifat teokratis atau terintegrasi dengan agama.

Di sisi lain, dalam Sistem Politik Sunni terdapat tradisi bai’at dan syuro sehingga dapat dismpulkan bahwa corak yang ada dalam sistem politik Sunni lebih bersifat demokratis.

Namun, golongan Khawarij hadir untuk menentang kedua corak yang dimiliki baik oleh Syi’ah maupun Sunni. Dengan kata lain, corak Khawarij seperti ini banyak terdapat pada kelompok ekstrimis yang disebut oleh Prof. Din Syamsuddin sebagai Neo-khawarij.
Pemikiran Politik Islam Menurut Masanya
Dalam sejarahnya, pemikiran politik islam cenderung mengalami perubahan dan pengulangan. Setidaknya terdapat empat era yang mana dianggap mempetakan pemikiran politik islam. Era tersebut antara lain:
- Klasik
- Pertengahan
- Modern
- Kontemporer
Namun dari sekian era yang telah disebutkan di atas dapat diringkas menjadi dua era yakni era pra-modern dan era modern. Corak yang terdapat dalam era pra-modern adalah pemikiran politik pada saat itu lebih cenderung membangun tendensi-tendensi. Tendensi-tendensi tersebut antar lain:
Tendensi Yuridistik Formalistik
Banyak membahas sistem politik, format pemerintahan, dan syarat pemilihan. Karena dalam hal ini banyak membahas aspek hukum maka lahirlah Fiqh As-siyasah.
Tendensi Administratif Birokratik
Pemikiran mengenai ketatanegaraan. Ilmuwan yang terkenal dalam hal ini adalah Al-mawardi dengan bukunya Qowaninul Wuzara’ yang banyak berisi gagasan dan ide-ide mengenai urusan administratif atau ketatanegaraan.
Tendensi Filosofis
Pada era pra-modern terdapat banyak pemikiran yang berbentuk filsafat atau bersifat filosofis mengenai perpolitikan. Salah satu ilmuwan islam yang terkenal dalam hal ini adalah Al-farabi. Al-farabi memakai istilah madinah untuk menyebut negara karena merujuk kepada kota Yastrib yang mana diubah namanya menjadi Al-madinah pasca peristiwa hijrah Rasulullah.
Tendensi Moral
Tokoh yang terkenal dalam hal tendensi moral pada pemikiran politik pada era pra-modern adalah Imam Al-ghazali. Hal ini didasari pada karya yang pernah beliau tulis yang berjudul An-nasihah Al-mulk. Buku tersebut banyak memuat berbagai nasihat yang ditujukan kepada seorang pemimpin atau penguasa.
Sebagai kesimpulan, pemikiran politik Sunni era pra-modern menjelaskan bahwa hubungan antara agama dan politik bersifat simbiolisme mutualistik sedangkan Syi’ah lebih bersifat integrative atau penyatuan antara agama dan politik.
Baca juga artikel menarik lainnya!
Aksi Kemanusiaan ICIC Ditinjau Melalui Konsep Adab al-Attas
Reinforcement Program 2.0, Inovasi Kegiatan Magang HI UNIDA di Era Pandemi
HMP-HI: MEWUJUDKAN ORGANISATORIS YANG AKADEMIS DAN BERAKHLAK